Sabtu, 23 Maret 2024

Idi Lautan Api



Penampakan Simpang Empat (Simpang Peut) Kota Idi Rayek, Aceh Timur. Saya jepret menjelang pukul satu siang tiga hari lalu (Selasa, 19 Maret 2024) sambil memicingkan mata di tengah terik yang bikin meledak kepala buaya. Setelah dilihat-lihat kembali, kesemrawutan kabel listrik itu memberikan efek estetis (plus dramatis) tersendiri. Seperti lukisan abstrak. Harganya mahal meski maknanya sukar dipahami oleh orang awam.


Jika kita dari arah Banda Aceh, ke kiri dari Simpang Empat ini akan berujung ke Kuala Idi. Kalau lurus tentulah ke Sumut. Kalau ke kanan, bisa tembus ke Keude Geurubak, ke PT Bumi Flora, Idi Cut, bahkan Alur Merah. Rumah saya yang sekarang hanya berselang dua kampung dari simpang ini. Rumah yang sebelumnya berselang enam kampung dari simpang ini. Agak ke depan sedikit, di sebelah kiri, dulunya Polres Aceh Timur.

Saya akrab dengan Simpang Empat ini. Punya memori khusus. Di pojok kanan itu dulunya ada warung bakso. Beberapa kali Ayah pernah membawa kami (saya dan sepupu) untuk makan bakso di sana. Itu ketika saya masih SMP. Di pojok itu juga ada warung Selera Anda yang menjual mi dan martabak. Ayah sering membeli mi goreng dan martabak di sana. Bersebab itu pula saya lebih suka mi goreng ketimbang yang rebus. Kenangan ternyata mampu mengubah rasa di lidah seseorang. Di tempat Selera Anda itu sekarang sudah jadi toko obat. Simpang ini juga jadi tempat mangkal RBT yang makin ke sini jumlahnya makin menyusut.

Waktu SMP saya kos di Idi Rayek. Mulanya di Asrama Koramil Idi Rayek. Di rumah orang tua salah satu guru SD saya. Ketika di sinilah untuk pertama kalinya saya melihat seorang pemuda mabuk. Jalannya tenggen. Mulutnya menceracau. Tetap "fly" meski ibunya berteriak mengeluarkan sumpah serapah dan mengusirnya. Ketika di sini pula, karena sering melihat cucu ibu kos membuat grafiti, saya pun jadi suka grafiti.

Beberapa bulan kos di asrama koramil, kami pindah ke Gp. Blang. Tinggal di rumah salah seorang kenalan ayah. Rumah milik seorang tauke besar di masanya di Idi Rayek. Di sini lumayan lama, setidaknya kami bertahan hingga naik kelas dua SMP. Dari sini kemudian pindah lagi, masih di Gp. Blang juga, tapi di Lr. Blang Pidie. Tentunya kami tinggal di rumah orang Pidie. 🙂 Persisnya seberang Masjid Jamik Idi Rayek. Dari ketiga tempat kos ini saya dan teman-teman berjalan kaki ke sekolah di SMP N 1 Idi. Di Jalan Peutua Husen, arah ke Kuala Idi.

Suatu hari di pertengahan tahun '98, kami sedang belajar dengan serius. Hari masih belum terlalu siang. Mungkin sekitar pukul sepuluhan. Tiba-tiba tampak asap hitam membubung tinggi di angkasa. Segera warga sekolah kasak-kusuk. Guru menjadi panik. Anak murid apa lagi. Waktu itu, menjelang runtuhnya Orde Baru, kerusuhan demi kerusuhan besar memang terjadi di mana-mana. Tak terkecuali di Kota Idi yang banyak orang Tionghoa. Umumnya mereka membuka usaha bengkel. Ada juga yang dealer motor. Sebagian berjualan emas.

Sekolah dibubarkan. Guru meminta murid-murid segera pulang. Ah, senangnya. Tapi, saya dan beberapa teman tak langsung pulang ke kos. Sampai di simpang Kantor Camat Idi Rayek, kami justru berbelok ke kanan, ke arah pusat kota, mestinya lurus saja ke seberang jalan besar. Kami penasaran. Dari mana sumber asap tadi berasal. Apa yang terjadi?

Sampai di kota, yang ada hanya kelengangan. Rusuh-rusuh sudah selesai. Kami masuk ke Tepekong Chin Sui Co Su (Vihara Murni Sakti). Ini salah satu bangunan bersejarah di Kota Idi. Sebelumnya setiap Imlek banyak warga Tionghoa dari luar yang berziarah ke sini. Bangunan vihara hancur. Rusak total. Lama-lama di situ, muncul juga kengerian sehingga kami memutuskan untuk segera pulang ke kos. Itu pertama dan terakhir kalinya saya masuk ke vihara itu.

Seingat saya, bermula dari rusuh-rusuh di bulan Mei itulah kondisi di tempat kami semakin tak kondusif. Saya yang waktu itu masih remaja belum begitu memahami situasi. Tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ketika tragedi Idi Cut terjadi di bulan Februari 1999, saya masih di tempat kos. Malam itu semua panik. Waswas. Apakah kejadian yang bermula dari dakwah itu sampai merembet ke Idi?

Karena kondisi yang semakin tak menentu, akhirnya kami pulang ke rumah. Tidak kos lagi. Orang tua pasti lebih merasa aman kalau anaknya ada di rumah bersama mereka. Di sisa kelas tiga SMP, untuk beberapa waktu saya pergi ke sekolah dari rumah yang jaraknya lumayan jauh. Syukurlah waktu itu sudah bisa membawa motor. Ayah mengizinkan saya membawa motor.

Masa-masa menjelang tamat SMP hingga tamat SMA saya lalui dalam deraan konflik yang demikian parah. Alih-alih memikirkan mau sambung ke mana setelah tamat SMP, kami justru sibuk mengungsi. Ketika sudah di SMA pun, suatu hari, setiba di sekolah terpaksa pulang lagi karena sekolahnya dibakar. 🙁 Rentetan kejadian lainnya, perlu banyak waktu untuk merenungi kembali.

Puncak ketidaktenangan di Kota Idi mungkin pada tahun 2001. Di bulan Maret tanggal satu. Bulan yang sama ketika saya menjepret Simpang Empat ini tiga hari yang lalu. Waktu itu menjelang Iduladha. Terjadi baku tembak sejak menjelang magrib hingga malam harinya antara GAM dengan aparat bersenjata RI. Toko, rumah, hingga boat milik warga Idi dibakar. Idi menjadi "lautan api". Rumah saya, yang berselang dua desa dari Kota Idi, menjadi ramai. Orang entah dari mana-mana berdatangan untuk menyelamatkan diri. Utamanya laki-laki. Satu di antara yang masih saya ingat adalah Teungku Ramit, tauke besar di Idi.

Esoknya, tanggal 2, setelah aparat kembali menguasa kota, mereka melakukan penyisiran. Bahkan hingga ke kampung kami. Alhamdulillah tak sampai ke kawasan rumah saya. Waktu itu, saya sedang bikin kue untuk Lebaran. Ayah tidak ada di rumah. Pergi menjauh ke desa lain. Surat-surat penting sudah diamankan. Baju mantel Ayah yang berwarna dongker dan panjangnya selutut, kami cemplungkan ke dalam sumur. Di masa itu, orang bisa saja ditangkap karena di rumahnya kedapatan barang-barang semacam mantel, kesamaan nama, atau kemiripan wajah/postur.

Efek dari kejadian itu, berbulan-bulan Kota Idi menjadi kota mati. Angker. Berada di kawasan Simpang Empat ini terasa mencekam. Untuk keperluan berbelanja mesti ke Peureulak atau ke Kota Langsa. Kalau yang dekat-dekat bisa seputaran Keude Pliek atau Keude Geurubak.

Melihat Simpang Empat 23 tahun setelah kejadian itu rasanya ada yang lain di hati. Toko-toko lama kini berganti menjadi toko-toko baru. Kota Idi yang pernah mati suri sudah berdenyut kembali. Tapi, seiring dengan itu, pelan-pelan kejadian itu akan semakin dilupakan. Apalagi--sepengetahuan saya--tidak ada monumen atau sejenisnya dibangun untuk "mengabadikan" sejarah kelam itu.[]

Bna, 22 Maret 2024

Rabu, 17 Januari 2024

Berhitung Hari



Mari berhitung hari. Januari yang begitu cepat berlari. Hari ini waktuku terasa sangat produktif. Sejak pagi aku sudah "ngetem" di depan laptop--setelah pekerjaan rumah selesai. Sembari menunggu jemputan adik yang akan balik ke Sinabang (Simeulue), aku menyambi mengedit satu bab naskah autobiografi seorang akademisi.

Setelah adik berangkat, aku pun berangkat. Berkemudi roda dua di bawah rintik hujan. Tujuanku Darussalam, untuk mengambil buku pesanan yang sudah setengah bulan tertunda. Sebelum itu aku berencana ketemu dengan seorang teman. Eh, baru sampai Lingke, motorku mendadak mati. Kunyalakan lagi. Hidup. Baru beberapa meter mati lagi. Syukurnya di sekitar itu ada sebuah bengkel kecil. Kubelokkan Beat-ku ke bengkel itu. Aku meminta pemilik bengkel untuk memeriksa. Ternyata, olinya sudah kering. Kerontang. Syukurlah motornya nggak jim. Sembari menunggu pengisian oli kukirim pesan pada teman yang sudah menunggu. Jawabannya melegakan: sabar menanti.

Sesaat setelah aku tiba, hujan turun dengan lebatnya. Kami terjebak di toko ekspedisi. Kami pun mengobrolkan apa yang bisa diobrolkan dalam situasi di toko orang, hujan lebat pula. Setelah hujan reda, kami berpisah. Satu ke kiri, satu ke kanan. Yang ke kanan tentu saja aku karena tujuanku ke Tanjong Deah.

Pulang mengambil buku, aku mampir ke kedai kopi dan melanjutkan bekerja: menyunting dan merevisi sebuah tulisan advertorial. Pulang menjelang Magrib. Tiba di rumah, istirahat sebentar, lalu mencuci piring. Usai Isya baru lanjut kembali menyunting, alhamdulillah tersisa 20 lembar. Kutarget esok kelar.[]

 

Jumat, 12 Januari 2024

Menjelang Akhir Pekan Kedua



Menjelang akhir pekan kedua di tahun ini. Ah, kenapa aku jadi sibuk menghitung hari, ya? Padahal ini masih Januari. Baru tanggal dua belas hari ini. Justru. Justru itulah aku menghitung hari. Karena di bulan yang masih "sedini" ini, aku sudah harus pasang gigi tarik. Siap-siap untuk menanjak.

Aktivitas tahun ini langsung terasa sejak hari-hari pertama di tahun baru. Rapat demi rapat. Tugas demi tugas. Ini bukan keluhan atau semacamnya. Tapi, karena intensitas yang padat itu, ditambah beban pikiran yang terus menghantui, akhirnya tubuhku jadi terkena dampaknya. Sudah tiga hari ini badanku terasa meriang. Sudah tiga hari pula aku menelan obat antidemam untuk mencegah tumbang. Esok mau ke Gayo. Udara di sana tak begitu akrab denganku. Kalau badanku tidak fit, aku jadi khawatir.

Hari ini aku ingin tiduran saja sebenarnya. Tapi, pukul delapan kurang lima menit pagi tadi aku sudah di kedai kopi. Ada rapat dengan penulis buku yang sedang kusunting. Dari situ, pukul 9.45 bergerak ke arah Tibang, ada rapat juga di sana dengan salah satu lembaga. Kelar sudah pukul dua belas lewat. Menjelang salat Jumat. Buru-buru aku pulang karena kepala sudah terasa berat. Nanti malam aku masih harus mempersiapkan diri untuk diskusi online selama dua jam.

Sehari sebelumnya, sejak pukul setengah sepuluh pagi hingga pukul sepuluh malam aku berada di luar. Dari kedai kopi ke kedai kopi. Seharian tak kena air di badan, rasanya gerah rah rah. Badan capek. Mata mengantuk. Kepala semakin berat. 

Pulangnya, masih harus merampungkan satu pekerjaan. Praktisnya baru pukul satu malam selesai. Setelah itu barulah aku mencoba tidur. Tapi, efek kopi yang kuminum di pagi hari, efek terlampau lelah, efek cerita yang sudah berjubel di kepala, alih-alih tidur nyenyak, malah sebaliknya. Aku cuma bisa golek sana sini dan mungkin baru terpejam setelah pukul dua lewat.

Hari sebelumnya lagi juga kurang lebih begitu. Dua malam menginap di rumah sakit karena ibu sedang dirawat. Tapi, ya, mana bisa tidur juga. Syukurlah ibu bisa pulang di hari kedua setelah dirawat. 

Dengan segala kelelahan ini, aku bersyukur masih ada yang bisa kukerjakan. Masih ada interaksi dengan teman-teman. Masih ada tempat berbagi. Dan... tentu saja untuk itu kita harus perbanyak syukur.[]

Selasa, 09 Januari 2024

Malam Kedua di Kamar Lantai Tiga



Dokter bilang Mamak bisa pulang besok. Jadi, malam ini, kami harus menginap semalam lagi di rumah sakit. Dua malam sudah.

Berbeda dengan malam kemarin, malam ini sudah ada pasien lain di kamar ini. 

Aku pun. Tadi pagi-pagi pukul tujuh sudah pulang ke rumah. Tiba di rumah kukeringkan kain di mesin yang sudah dicuci semalam, lalu menjemur. Setelah itu mengolah sisa cumi di kulas. Selanjutnya mencuci piring. Terakhir, mandi. Berkemas-kemas. Kembali lagi ke rumah sakit.

Hari ini aku ada janji wawancara pukul sepuluh pagi. Mestinya aku pergi dengan seorang rekan, tetapi karena yang bersangkutan ada musibah keluarga dan harus pulang kampung, akhirnya aku pergi wawancara sendiri.

Jadwal wawancara yang kutarget cuma satu jam, rupanya karena kebanyakan ngalur-ngidul malah molor jadi pukul dua belas. Dari rumah narasumber segera aku meluncur ke kedai kopi di pinggir sungai. Ada janji temu dengan rekan-rekan. Pulangnya setengah dua, langsung ke rumah sakit. Melanjutkan menyunting buku. Alhamdulillah, malam ini selesai urusan penyuntingan.

Sementara itu, nasofaring semakin tidak nyaman. Aku seperti mau flu. Badan pun terasa hangat.Kepala nyut-nyutan. Ya, Allah, sehatkan aku. Sehatkan aku...[] 



Senin, 08 Januari 2024

Dari Kamar di Lantai Tiga


Senin kedua di tahun 2024. Aku memulai hari dengan keluar dari rumah pada pukul setengah sembilan pagi. Tujuanku ke Jalan Angsa 23 di Batoh. Ada rapat yang mesti kuhadiri. 

Hari ini, di agendaku tercatat ada dua jadwal pertemuan. Pukul sepuluh pagi dan siang setelah Zuhur. Rupa-rupanya yang setelah Zuhur diundur ke besok siang karena sang empunya hajat hari ini tidak bisa. 

Di sela-sela waktu sebelum rapat dimulai, kumaksimalkan untuk menyunting draf sebuah autobiografi milik petinggi sebuah institut. Alhamdulillah, kelar satu bab. Bonus waktu rapat yang molor. 

Pagi tadi aku terbangun oleh suara ibu. "Kita ke rumah sakit, ya." 

"Mamak pigi sama Diah, ya?"

"Iya."

Sudah dua bulanan ini kondisi ibu bisa dibilang lebih banyak tak sehatnya dibandingkan sehatnya. Selain berobat ke puskesmas, ibu juga berobat alternatif. Kondisi ibu tentu saja menambah beban pikiranku. Aku berusaha untuk tetap enjoy. Tapi, ya, nggak bisa. Sulit untuk enjoy dengan apa yang ada di pikiranku akhir-akhir ini. 

Aku bangkit dan menuju kamar sebelah. Kubangunkan Diah--adikku yang perempuan. Di rumah cuma ada kami bertiga: aku, ibu, dan Diah. 

Aku dan Diah sering berbagi peran. Karena aku sibuk bekerja, Diah lah yang kebagian untuk menemani ibu berobat atau bepergian ke tempat lain. Baik ke puskesmas, maupun ke tempat praktik dokter. Atau ke Lhoknga--seperti yang sudah sebulan lebih dilakukan ibu. 

Aku meminta Diah yang membawa ibu ke puskesmas, setelah sebelumnya dia kuminta juga untuk mengantarku ke Jalan Angsa. Itu sebab aku datang satu jam lebih awal dari jadwal rapat pukul sepuluh. 

Sembari mengikuti rapat, aku memonitor Diah. Kutanyakan apa sudah ke puskesmas. Sudah, katanya. Dokter di puskesmas mengeluarkan rujukan agar ibu dibawa ke rumah sakit. Aku meminta Diah mengabari kalau ada apa-apa. Katanya pukul setengah tiga disuruh balik ke rumah sakit. "Sudah daftar, tinggal tunggu ditelepon," katanya.

Pukul dua lewat aku naik Gojek dari Jalan Angsa dengan tujuan kedai kopi di pinggir Krueng Aceh. Kedai kopi ini dekat dengan rumah sakit tempat ibu dirujuk. Juga tak begitu jauh dari tempat tinggalku. 

Aku mengabari Diah, kukatakan kalau aku di kedai kopi itu. Aku sengaja tidak pulang. Tidak juga ke rumah sakit. Toh sudah ada Diah. Tapi sengaja duduk di kedai kopi itu sambil menyambi kerja supaya kalau ada yang mendesak atau mendadak di rumah sakit, aku bisa segera meluncur.

Betul saja. Sekitar pukul tiga Diah mengabari: dokter menyarankan supaya ibu dirawat inap. Ibu dirawat dengan diagnosa diabetes tipe dua. Ketika diperiksa tadi siang, kadar gula dalam darahnya "cuma" 180. Tapi dokter menyarankan inap karena ibu agak demam, detak jantungnya juga sangat cepat, ibu juga lemas.

Kopi yang baru kupesan belum lagi tandas. Masih tersisa setengah di cangkir. Aku bergegas ke rumah sakit yang cuma selemparan batu. Berjalan kaki. Tiba di rumah sakit, kulihat ibu dan Diah sedang menunggu di depan meja resepsionis. 

Setelah urusan administrasi selesai, seorang juru rawat memberi tahu kalau ibu dapat kamar di lantai tiga: Ruang Geureudong Pase. Kami naik melalui tangga datar. Ibu didorong oleh seorang petugas dengan kursi roda. Kami mengiringi.

Di kamar di lantai tiga ini ada tiga ranjang pasien, tapi cuma ibu satu-satunya pasien. Kamarnya cukup luas dan leluasa. Ada dua kipas angin. Sudah cukup meski tanpa AC. Mengingat ibu selalu kepanasan efek dari diabetesnya itu. Jadi, kalau di rumah, ibu enggak akan bisa tidur tanpa nyala kipas angin. Mau hujan selebat apa pun, kipas angin tetap on fire selama 24 jam di rumah.

Kamar tempat ibu dirawat langsung menghadap ke jalan raya. Dari jendela berkaca transparan tampak jelas sungai di seberangnya. Di seberangnya lagi tampak punggung-punggung toko di Jalan Ahmad Yani Peunayong. Pepohonan di taman bantaran sungai hijau asri.



Sementara itu, seharian ini aku merasa lelah. Sangat lelah malah. Pikirankulah yang lelah. Empat baris pesan yang masuk ke ponselku siang tadi membuat pikiranku recok nyaris sepanjang hari. Dua cangkir kopi yang kuminum ternyata tak memberi efek apa pun. Alih-alih terjaga, sepanjang sore tadi aku malah terus-menerus merasa kantuk. Tapi setiap aku berusaha untuk tidur, justru mataku enggan mengatup. Yang ada kepalaku malah sakit. Hidung dan tenggorokanku pun mulai terasa nyeri. Seperti akan pilek.

Dari kamar di lantai tiga ini, aku melihat pemandangan di malam hari yang lebih indah karena terang lelampu. Tapi ini rumah sakit. Sebagus-bagusnya pemandangan, tetap saja tidak bisa membuat kita merasa seolah-olah seperti berada di kamar hotel. Dan, kepalaku masih terus direcoki oleh pesan empat baris tadi siang.[]


Minggu, 07 Januari 2024

Kursi Tempat Biasa Aku Duduk



Kedai kopi di pinggir Krueng Aceh tempat biasa aku duduk tidak seramai hari-hari biasa, hari ini. Mungkin karena Minggu sehingga orang-orang lebih memilih tempat nongkrong yang lebih "gaul" mungkin. Mungkin, ya. Karena di hari-hari biasa yang duduk di sini lebih sering pekerja kantoran memang.

Aku tiba tepat pukul enam belas sore. Dan kursi tempat biasa aku duduk sudah diduduki oleh seorang lelaki. Aku suka duduk di kursi itu karena posisinya yang rapat ke dinding. Mejanya kecil saja, dengan dua kursi posisinya saling berhadapan. Di meja yang kecil itulah biasanya laptopku berebut tempat dengan cangkir kopi, piring kue, kotak tisu, botol minuman, ponsel, dan ... terkadang buku.

Di dinding di kursi tempat biasa aku duduk itu pun hanya sebatas telingaku. Jadi, saat aku duduk, aku bisa leluasa melihat pemandangan di seberang sungai. Juga leluasa merasakan embusan angin yang lebih sering lasak dibandingkan sepoi-sepoi. Dari sini aku bisa memperhatikan orang-orang dengan leluasa, sebaliknya, aku tidak begitu menjadi pusat perhatian.

Karena mejanya kecil dan kursinya yang terbatas itulah kursi itu nyaris selalu kosong. Seramai apa pun pengunjungnya, setiap aku datang, aku selalu mendapat tempat di situ.

Dan karena kursi itu sudah ada yang menduduki, aku mencari kursi lain. Di sudut dekat dinding juga, tapi di sisi sebelah kanan.

Aku ke kedai kopi untuk bekerja. Itu sebabnya aku lebih sering sendiri. Terutama ketika aku sedang dikejar tenggat. Bekerja sendirian membuatku lebih fokus. Kebiasaanku, sebelum bekerja, selalu kuawali dengan memesan secangkir kopi hitam; mengeluarkan buku untuk kubaca barang sepuluh atau lima belas menit; membalas pesan-pesan di WhatsApp; dan scrolling media sosial. Setidaknya menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit untuk semua itu.

Akhir pekan atau tidak, buatku sama saja. Semalam aku Zoom dengan rektor salah satu perguruan tinggi di Aceh. Kami berdiskusi selama 45 menit untuk membahas teknis bukunya yang sedang aku sunting. Hari ini, kurencanakan sejak pagi bisa menyelesaikan setidaknya dua bab untuk kusunting. 

Rupa-rupanya rencana memang sering kali meleset dari yang dipikirkan. Rencanaku menyunting di kedai kopi, tapi jadinya malah berolahraga di taman dekat rumah. Pulang dari taman, aku memasak untuk makan siang. Setelah itu tidur siang dan baru terjaga menjelang pukul setengah empat sore. Bergegas aku mandi, lalu siap-siap dan meluncur ke kedai kopi. 

Sepanjang waktu asar hingga menjelang magrib, ada satu bab yang kuselesaikan. Lumayan. Mengingat hari-hari ke depan sepertinya kegiatanku akan mulai padat. Aku membiasakan untuk lebih disiplin. Harus ada target untuk setiap harinya. Dengan target itulah aku bisa "menghalau" suara-suara yang bising di kepalaku.[]


Sabtu, 06 Januari 2024

Seorang Lelaki dan Bukunya di Kedai Kopi



"Mau ke mana, Dek?"

Pelan suaramu menyapaku yang baru saja selesai membayar di kasir. Aku mendekat. Pantas saja kau tidak terlihat dari kursi tempatku duduk di belakang. Kursimu terhalang tiang permanen yang lumayan besar.

"Mau ke warung kopi lain, Bang. Hidupku dari warkop ke warkop," kataku setengah bercanda. 

Aku tidak bohong. Memang aku sudah berencana pindah kedai kopi setelah sejak pagi tadi bekerja di kedai kopi ini. 

"Itu buku apa?" Kau bertanya karena melihat aku menenteng sebuah buku tebal. 
Aku menunjukkan buku itu. Kau menyongsong mengambilnya. Meneliti kovernya yang berwarna abu-abu dan berilustrasi gedung pencakar langit. Sebaris judul in English semuanya dalam huruf kecil alus kasar.

"On proses difilmkan, diperankan oleh Putri Marino dan Nicholas Saputra."

Entah mengapa aku perlu menjelaskan itu. Mungkin karena aku suka dengan ceritanya, yang baru kubaca setengah dari total tiga ratus halaman. Buku itu kubeli di hari terakhir tahun lalu.

Sudah kali ke sekian kita bertemu di kedai kopi ini. Sejak pertemuan dan perkenalan pertama dua tahun lalu. Juga di kedai kopi ini. Tapi, kenapa terlalu sulit bagiku untuk mengingat namamu, ya, Bang. 

Wajahmu tentu saja aku tidak lupa. Di mana pun aku bertemu denganmu, aku yakin akan mengenalmu. Tapi namamu? Ingin kutanyakan lagi, aku ragu, sudah pernah kutanyakan soalnya. Pasti tak etis kalau aku bertanya lagi.

Memang aku ini pengingat yang buruk. Memori ingatanku sangat-sangat jangka pendek. Lucunya, aku masih bisa mengingat nomor ponsel Zenja yang pernah digunakannya belasan tahun lalu. 08131783xxxx. Lucunya lagi, aku tidak kesulitan mengingat momen-momen indah yang terjadi di hidupku. Pertemuan dengan Zenja misalnya. Atau juga Pagi. 

"Aku pun sedang membaca sebuah buku, tapi nonfiksi." Katamu kemudian.

"Mana?" aku penasaran.

Kau mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas selempang berbahan tenun. Ragam Akalbudi-nya Daniel C. Dennet. Buku terjemahan. Babnya tak lebih dari tujuh. Aku membolak-balik halaman buku itu. Tidak berat. Tapi tidak juga terlalu ringan. Pokoknya sangat portabel. Kovernya unik. Mungkin salah satu sel kanker. Bisa juga sel otak.

"Boleh kufoto?"
"Boleh."

Aku memotret kovernya dengan ponsel. Kali-kali aku perlu sebagai referensi untuk dicari di toko buku. Terus terang, mengetahui kenyataan kamu membawa buku sungguh menarik. Ini semacam kejutan. 

Aku melihat jam di ponsel. Aku ada janji pukul setengah tiga. Aku permisi. Aku keluar dari pintu samping yang mengarah ke sungai. Lalu menyusuri trotoar di sepanjang bantaran sungai, menuju kedai kopi di sisi lain sungai ini. 

Trotoar yang sepi. Hanya aku sendiri yang melintas. Langit agak mendung. Membuatku tak perlu tergesa-gesa untuk melangkah. Meski, tetap saja tubuh terasa lembab karena peluh. Sambil melangkah itu, kulihat lagi kover buku yang kutenteng. Entah mengapa aku merasa seperti salah satu tokoh di dalam buku itu. Ingin berlari dari hal-hal yang rumit. Jauh. Jauh sekali ....[]